Mengenal Yesus Lebih Dalam



Sejauh masih dapat digali dari Perjanjian Baru, khususnya ketiga Injil sinoptik yang memanfaatkan tradisi lebih tua, umat Kristen Yahudi semula melihat Yesus, yang tadinya mati tersalib, sebagai Anak Manusia yang tidak lama lagi sebagai Juru Selamat dan Hakim akan tampak untuk menyelesaikan apa yang selagi hidup di dunia sudah diwartakan dan dimulai, yaitu Kerajaan Allah.


Yesus akan mewartakan Kerajaan Allah yang dekat, bahkan sudah menembus ke dunia ini tapi masih mesti diselesaikan nanti, Yesus oleh Allah dibangkitkan dari antara orang mati. Rupanya mula-mula umat Kristen Yahudi meneruskan saja pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah (Luk 10:3-11).

Kebangkitan membuktikan benarnya pewartaan Yesus. Maka, tidak lama lagi semuanya akan selesai dan berakhir (Luk 10: 2, 9; 11:49-52). Yesus yang melalui kebangkitan-Nya dinyatakan sebagai utusan Allah dan Anak Manusia nanti, menjadi pelaksana rencana penyelamatan Allah.

Dalam tradisi Yahudi Peranjian Lama penciptaan dan penyelamatan Allah dikaitkan dengan hikmat kebijaksanaan Allah. Hikmat kebijaksanaan itu tidak lain kecuali "rencana" penciptaan dan penyelamatan Allah.

Kalau boleh dilihat sebagai pelaksana penyelamatan Allah, maka Yesus sebenarnya pelaksana hikmat kebijaksanaan Allah. Hikmat kebijaksanaan itu dalam tradisi Yahudi (Ams 8; Sir 24; Bar 3) sudah diperorangkan, dipikirkan sebagai semacam "tokoh" ilahi.

Dalam tradisi Yahudi di zaman Perjanjian Baru terdapat suatu gagasan lain yang tersebar luas dan jauh lebih penting daripada gagasan Anak Manusia. Gagasan itu ialah "Mesias". "Orang Yang (sebagai raja ataupun imam) Diurapi" oleh Allah sebagai wakil dan kuasa-Nya.

Mesias yang juga diberi gelar "Anak Daud", keturunan Daud (Mat 12:23; 12:30; Mrk 12:35), biasanya dipikirkan sebagai "Raja" dengan ciri politik-nasional yang cukup menyolok. Tentu saja dalam tradisi Yahudi gagasan "Mesias" itu agak kabur juga dan Mesias tidak selalu dipikirkan secara sama.

Sejak awal hidup-Nya Yesus sudah Anak Daud, Mesias, Tuhan, Anak dari Yang Mahatinggi, Anak Allah (Luk 1:32.35; 2:11). Sejak awal Ia dilengkapi dengan Roh Kudus, bahkan oleh roh itu Ia dijadikan Anak Allah (Luk 1:35).

Yesus Kristus Masuk Dunia Yunani


Agak segera dan dengan cepat sekali iman kepercayaan Kristen yang berpangkal di Palestina dan pikiran Yahudi tersebar juga di dunia Yunani. Ada beberapa gagasan yang penting dalam alam pikiran Yahudi, tetapi kurang dapat dipahami oleh orang-orang Yunani yang tidak hidup dalam tradisi religius Yahudi.

Ternyata bahwa gagasan Mesias sebenarnya sedikit banyak hilang dari pemikiran umat Kristen. Bagi orang Yunani tidak terlalu penting Yesus itu Mesias atau tidak. Kata itu memang harus dipakai sebagai gelar kerajaan, jabatan, melainkan nama diri saja (1 Kor 1 : 12, Ef 2: 12).

Yesus mendapat nama majemuk, yaitu Yesus Kristus ataupun Kristus Yesus. Dan ada dua gelar Kristus  yang sudah tradisional tanpa keberatan dapat dipakai orang Yunani, yaitu: gelar anak Allah dan Tuhan.

Kalau Yesus Kristus dipahami secara demikian, maka gelar Tuhan diberi isi yang sesuai. Sebab kuasa Allah, Tuhan, sudah menjadi nyata dan berwujud Yesus Kristus. Dan sebagai tokoh ilahi Yesus melebihi kaisar dan lain-lain tokoh yang lazimnya disapa sebagai Tuhan Allah (1 Kor 8: 4-6).

Yesus Sahabat Manusia

Dalam kasih-Nya yang tak terbatas, Allah mengutus Putera-Nya untuk memulihkan hubungan yang telah retak karena dosa manusia. Allah mengangkat manusia agar memiliki hubungan yang lebih intim lagi, yaitu menjadikan manusia anak-anak-Nya, sehingga kita dapat memanggil Yesus sebagai saudara sulung (Rm. 8:29), seseorang yang sangat dekat, yang memiliki hubungan pribadi dengan saudara-saudara-Nya.

Dalam Injil Yohanes (Yoh. 15:12-27), Yesus memanggil murid-murid-Nya “sahabat” bukan sebagai hamba. Yesus juga menyebut diri-Nya sebagai sahabat pemungut cukai dan sahabat orang-orang berdosa (Mat. 11:19). Yesus memiliki persahabatan dengan tiga bersaudara Maria, Marta, dan Lazarus.

Ia juga memiliki hubungan khusus dengan Petrus, Yohanes, dan Yakobus, sehingga mereka diajak Yesus untuk mengalami kemuliaan cahaya Tabor, tetapi juga diajak juga untuk mengalami kesedihan yang mendalam di Taman Getsemani.

Bukti bahwa Yesus mau menjadi sahabat manusia, ialah Ia mengasihi dan peduli pada manusia. Ia menderita untuk manusia, menyerahkan diri-Nya wafat di salib demi manusia, ini ditegaskan dalam Injil Yohanes, ”Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).

Berpikir Sebagai Seorang Sahabat


Yesus memperlihatkan perhatian yang nyata terhadap semua orang, mulai dari seorang muda yang kaya (Mat. 19:22) sampai seorang janda yang miskin (Mrk. 12:.42). Ia memperhatikan keselamatan seorang wanita pezinah yang hampir dirajam (Yoh. 8:3), Ia memperhatikan seseorang yang dianiaya dan dirampok oleh para penyamun dalam perjalanan ke Yerikho. (Luk. 10:30). Berpikir sebagai seorang sahabat berarti menunjukkan perhatian dan minat kepada orang lain.

Bertindak Sebagai Seorang Sahabat

Seringkali setelah menyembuhkan seseorang Ia berpesan agar jangan memberitahukan kepada siapa pun (Mat. 8:4; 9:30; 12:16, Mrk. 5:43; 7:36, Luk. 4:41). Ia tidak menuntut pujian atas perbuatan-perbuatan baik-Nya. Kerinduan-Nya adalah membuat manusia bahagia tanpa memperhatikan diri-Nya sendiri. Ia selalu melakukan kehendak Bapa, melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah, bebuat baik kepada semua orang untuk kepentingan manusia bukan untuk diri-nya sendiri.

Memiliki Perasaan Sebagai Seorang Sahabat

Kepekaan terhadap perasaan orang lain merupakan unsur penting untuk sebuah persahabatan. Yesus menangis terharu ketika melihat Maria saudara Lazarus dan Marta menangis. (Yoh. 11:35) Ia menatap dengan penuh kasih seorang muda yang kaya (Mrk. 10:21), Ia tergerak hati-Nya oleh belaskasihan ketika melihat seorang janda menangis karena anaknya meninggal. (Luk. 7:13)

Yesus memiliki rasa belaskasihan yang sangat besar terhadap kesulitan orang lain. Perasaan kasih mendorong-Nya untuk membantu dan menyelamatkan manusia, karena kasihlah Ia datang ke dunia untuk kepentingan manusia. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16)

Yesus tahu dan mengenal apa arti kegembiraan, penderitaan, tetesan air mata, dan kemarahan. Perbuatan dan perkataan-Nya yang dijiwai oleh kasih mengungkapkan simpati, empati, dan kasih sayang, menjadikan banyak orang mengasihi dan ingin bersahabat dengan-Nya.

Persahabatan Yesus mengungkapkan sikap dasar yang paling penting dalam hidup iman. Yaitu:

Pertama, Yesus senantiasa bersyukur kepada Allah, yakni atas apa yang telah dinyatakan atau dikaruniakan Allah kepada sahabat-Nya. “Aku bersyukur kepada-Mu Bapa Tuhan langit dan bumi, karena semua itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Mat 11: 25)

Kedua, Yesus selalu mengampuni siapa saja yang bersalah kepada-Nya, sahabat-sahabat-Nya, musuh-musuh-Nya. Adegan di salib mengungkapkan dengan bagus sikap belas kasih dan pengampunan Yesus itu. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” ( Luk 23: 34). Kesadaran bahwa dikasihi oleh Tuhan merupakan syarat dan dasar untuk mampu bersahabat dengan siapa pun. Persahabatan itu buah dari suatu hati yang telah dipenuhi  oleh kasih Allah dan buah dari suatu hati yang terbuka untuk mengasihi siapa pun. Kitab Suci menyampaikan kepada kita betapa Allah mengasihi kita (Yer 31: 3: 1 Yoh 4: 10-11,19).

Menerima Yesus sebagai Allah, kita berarti menerima yang oleh Yesus disebut Allah kita. Kekuatan mutlak, kekuatan kebaikan, kebenaran dan kasih yang lebih kuat dari segala macam kekuatan di dunia, sekarang dapat dilihat dan dikenal dalam Yesus, baik melalui apa yang harus ia katakan mengenai Bapa maupun dalam dirinya sendiri, yaitu struktur hidup pribadinya dan kekuatan keyakinan-keyakinannya yang maha besar. Allah sungguh-sungguh manusiawi, lebih manusiawi daripada semua manusia. Menurut Schillebeeckx, ia adalah dues humanissimus, Allah yang paling manusiawi.

Kemanusiaan dan keilahian diartikan dalam rangka filsafat statis mengenai kodrat metafisik, dalam rangka religius bagi orang yang mengakui Yesus sebagai Allahnya, yang manusiawi dan yang ilahi sudah disatukan  sedemikan rupa sehingga keduanya menyatakan nilai religius yang satu dan sama. Keilahian Yesus adalah kedalaman transenden kemanusiaannya. Dengan kata lain, iman yang dibangkitkan oleh Yesus di dalam diri kita adalah sekaligus iman padanya dan iman akan keilahiannya.

Ditulis oleh FX. Budi Prasetyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar