Mengusahakan Kerukunan Umat Beragama Demi Perdamaian




Kerukunan beragama di Indonesia akhir-akhir ini semakin memudar. Konflik sosial keagamaan masih saja terjadi antar umat beragama. Prinsip dan nilai kerukunan belum juga diimplementasikan dalam setiap pemeluk agama. Karena itu, keharmonisan dalam beragama umat manusia semakin terkikis sehingga memunculkan kekerasan atas nama agama atau karena perbedaan keyakinan.


Harmonisasi dalam hidup beragama menjadi sangat signifikan untuk diimplentasikan di Indonesia yang sangat plural dan multireligius. Bangsa ini masih sangat mudah diprovokasi untuk menciptakan gesekan dan konflik sosial keagamaan. Pada dasarnya, sumber kemunculan kekerasan dan konflik sosial keagamaan tersebut terletak pada setiap pribadi pemeluk agama dalam memahami dan menghayati keyakinan.

Mereka cenderung mengendepankan kebenaran tunggal, agamanya paling benar. Dengan klaim kebenaran itu, setiap agama menyatakan ajarannya merupakan totalitas sistem makna yang berlaku bagi seluruh kehidupan baik individual maupun sosial. Klaim kebenaran itulah yang mampu menyulut konflik sosial keagamaan.

Kata lain dari harmoni adalah kerukunan yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu harmony. Kata ini dapat diterjemahkan dengan keserasian, kesesuaian, dan keselarasan. Kerukunan memiliki satu tujuan yaitu perdamaian.  Ajaran Yesus tentang damai sangat terkenal. Yesus berkata,” Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22: 39).

Kerukunan juga mengharuskan rekonsiliasi untuk membangun kerukunan antar umat beragama agar tercapai suasana saling menghormati dan menghargai perdamaiaan  meskipun berbeda agama. Maka diperlukan cara yang efektif yaitu dialog antar umat beragama untuk memecahkan permasalahan antara masing-masing kelompok umat beragama.

Dialog berasal dari dari kata Yunani “dialogos”, artinya percakapan, pembicaraan. Lalu dialog memperoleh arti wawancara atau tukar-menukar pikiran, dari kedua belah pihak yang saling mendengarkan dan mengemukakan pendapat, mengajukan argument-argumen serta alasannya. Dalam dialog sejati mereka berikhtiar untuk saling mengerti dan mencapai paham yang lebih lengkap.”  (Budiyono, 1983)

Dialog bisa berarti kesediaan untuk belajar dan berbagi informasi, menerima dan memberi pengetahuan dan pengalaman beragama.“Konsep dialog bukan hanya persoalan retorika dan teatrikal, melainkan lebih dalam lagi soal hati nurani dan umat secara keseluruhan.”. (Nurcholish Madjid, 2001). Mengembangkan dialog dapat juga dilakukan dalam empat tingkat bagi komunikasi manusia.

Pertama, dialogue of hearts: rasa sebagai saudara, sesama makhluk Tuhan, sesama manusia. Kedua, dialogue of life: menegakkan nilai-nilai kehidupan kemanusiaan. Ketiga, dialogue of peace: keberanian untuk memperbincangkan Tuhan dan manusia dalam kedamaian. Keempat, dialogue of silence: di mana Tuhan berbicara kepada setiap manusia.  (Muhamad Ali, 2003)

Pada dasarnya, semua agama modern yang ada di dunia sekarang ini amat menekankan tentang nilai-nilai hidup manusia seperti: kerukunan, persaudaraan, solidaritas, cinta kasih, persatuan dan kerjasama dalam hidup bersama. Tujuan yang hendak dicapai setiap agama adalah kematangan spiritual dan moral yang terwujud atau terbukti yang baik antara manusia dengan Allah serta antara manusia dengan sesamanya.

Kutipan teks Kitab Suci (Mat 8:5-13) mengajarkan kepada kita tentang keterbukaan perwira Romawi dan keterbukaan Yesus terhadap penganut agama lain. Perwira Romawi yang dianggap masyakarat sebagai orang kafir mau datang kepada Yesus yang beragama Yahudi. Yesus sendiri tidak menolak kedatangan perwira itu, Ia mendengarkan permintaannya bahkan siap untuk datang ke rumah perwira itu, padahal, menurut adat istiadat haram hukumnya untuk bergaul dengan bangsa kafir seperti perwira Romawi tersebut.

Kisah tersebut memiliki pesan bahwa murid-murid Yesus dipanggil untuk bersikap terbuka, dan mau membangun persaudaraan, persahabatan dengan semua orang tanpa memandang perbedaan agama atau kepercayaan.

Sikap saling menghormati, persahabatan, dan solidaritas antara para penganut agama atau keyakinan-keyakinan pandangan hidup yang berbeda, dan dalam beberapa hal tidak cocok atau saling bersaing satu sama lainnya, mengandaikan bahwa semua orang dalam hubungan ini:
1.    Mengakui dalam doktrin dan prakteknya masing-masing, kebebasan dan martabat lain yang setara.
2.    Menginginkan segala yang esensial bagi pemenuhan/pemikatan oleh orang lain terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan, dengan menyadari bahwa orang lain itu juga menginginkan hal yang sama.
3.    Bersedia membela orang lain ketika pemenuhan/penikmatan oleh orang lain tersebut terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinannya terancam: mempraktekkan asas” semua untuk satu, satu untuk semua”.  (Rafael Edy Bosko, 2010)

Penghargaan terhadap agama umat beragama lain, hidup rukun dan damai dengan umat beragama lain, bukan hanya merupakan kebutuhan dan tuntutan atau kewajiban keagamaan, tetapi lebih luas dan dalam dari itu, yaitu karena kemanusiaan. Kerukunan, toleransi, dan perdamaian antar umat beragama merupakan konsekwensi dari hakekat kemanusiaan kita.

Oleh karena itu, jika ada orang yang merusak atau menolak kerukunan, toleransi dan  kedamaian, antar umat beragama, sama saja dengan ia merusakkan atau menolak kemanusiaan. Dalam Kitab Kejadian 1:27  dituliskan, ”Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.


”Manusia itu adalah ciptaan Allah dan sekaligus citra Allah. Manusia adalah pribadi yang memiliki kebebasan, kebebasan tidak mungkin ada tanpa pengakuan satu sama lain. Dan kasih tidak mungkin ada tanpa pemahaman akan yang lain. Hanya manusialah sebagai citra Allah yang dianugerahi kebebasanlah yang dapat menanggapi inisiatif kasih Allah secara sepadan.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik menekankan perdamaian dan memperjuangkan perdamaian antar umat beragama, karena itu dituliskan dalam dokumen Konsili Vatikan II : khususnya Gaudium et spes art 78  tentang  “Hakikat Perdamaian”, bahwa :

Damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula dapat diartikan sekadar menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Damai juga terwujud akibat kekuasaan diktatorial, melainkan dengan tepat dan cermat disebut” hasil karya keadilan”(Yes 32:17). Damai merupakan buah hasil tata tertib, yang oleh Sang Pencipta Ilahi ditanamkan dalam masyarakat manusia, dan harus diwujudkan secara nyata oleh mereka yang haus akan keadilan yang makin sempurna. Sebab kesejahteraan umum bangsa manusia dalam kenyataannya yang paling mendasar berada di bawah hukum yang kekal. Akan tetapi, mengenai tuntutannya yang konkret, perdamaian tergantung dari perubahan-perubahan yang silih berganti pada sepanjang masa. Maka, tidak pernah tercapai sekali untuk seterusnya, melainkan harus terus- menerus dibangun. Kecuali itu, karena kehendak manusia mudah gondang, terlukai oleh dosa, usaha menciptakan perdamaian menuntut setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwenang. (GS.78)


Perdamaian di antara berbagai budaya dan peradaban adalah perdamaian-antar agama. Seluruh agama besar dunia menyerukan pada perdamaian, kasih sayang, keselarasan, kepedulian dan kelembutan.

Agama tidak mengajarkan kekerasan dalam komunitas setiap pemeluknya agamanya masing-masing namun agama mempraktikkan sebuah dialog yang penuh pengertian dan kesantunan dengan agama-agama lain, serta membela kebebasan beragama yang menghormati kebebasan hati nurani dari setiap manusia  untuk memberikan basis perdamaian dengan membuka pintu selebar-lebarnya untuk kesepakatan  tidak melakukan anti kekerasan dan saling menghormati.

Akan tetapi, itu tidak cukup. Perdamaian itu di dunia tidak dapat dicapai kalau kesejahteraan pribadi-pribadi tidak dijamin, atau orang-orang tidak penuh kepercayaan dan dengan rela hati  saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta meraka. Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain serta martabat mereka, begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata mutlak untuk mewujudkan perdamaian. Demikianlah perdamaian merupakan buah cinta kasih juga, yang masih melampaui apa yang dapat dicapai melalui keadilan. (GS. 78)

Agama datang untuk membangun damai di antara manusia, setiap penganutnya ini menggunakan nilai-nilai agama dengan formulasi yang amat indah, yakni, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila. Agama sebagai media untuk mewujudkan perdamaian dalam kehidupan manusia, karena itu agama disebut sebagai agama untuk perdamaian menjadi semboyan yang diproklamirkan pemeluk agama masing-masing.

Damai di dunia, yang lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa. Sebab Putra sendiri yang menjelma, Pangeran damai , melalui salib-Nya telah mendamaikan semua orang dengan Allah.

Sambil mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan satu tubuh, Ia telah membunuh kebencian dalam daging-Nya sendiri, dan sesudah dimuliakan dalam kebangkitan-Nya, Ia telah mencurahkan Roh cinta kasih ke dalam hati orang-orang.

Oleh karena itu segenap Umat Kristen dipanggil. Dengan mendesak, supaya “ sambil melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih”(Ef 4:15), menggabungkan dirin dengan mereka yang sungguh cinta damai, untuk memohon dan mewujudkan perdamaian.

Digerakkan oleh semangat itu juga, kami merasa wajib memuji mereka, yang dapat memperjuangkan hak-hak manusia menolak untuk menggunakan kekerasan, dan menempuh upaya-upaya pembelaan, yang tersedia pula tanpa melanggar hak-hak serta kewajiban-kewajiban sesama maupun masyarakat.

Karena itu pendosa maka selalu terancam, dan hingga kedatangan Kristus tetap akan terancam bahaya perang. Akan tetapi, sejauh orang-orang terhimpun oleh cinta kasih mengalahkan dosa, juga tindakan-tindakan kekerasan akan diatasi, hingga terpenuhilah sabda, ”Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang” (Yes 2:4). ( GS. 78)

Seperti dituliskan Hans Kung, Hans Kung memberi argumentasi mengapa kita memerlukan etos global yang mendukung koeksistensi damai umat manusia dalam sebuah rumah bersama itu: ‘kein Uberleben ohne Weltethos’ (tidak ada keberlangsungan kehidupan umat manusia tanpa sebuah etos global); ‘Kein Weltriede ohne Religionsfriede’ (tidak ada perdamaian dunia tanpa ada perdamaian di antara agama-agama); dan ‘kein Religionsfriede ohne Religionsdialog’ (tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa ada dialog antar-agama)  (Robert B. Baowolo, 2010)

Triologi perdamaian Hans Kung di atas adalah ungkapan yang paling padat yang mencakup tuntutan bagi semua agama di dunia untuk memulai babak baru membangun perdamaian dunia berdasarkan sebuah etos bersama, etos yang mengalir keluar dari oase kekayaan spritualitas di dalam agama-agama itu sendiri dan bukan sebuah etos hasil rekayasa sosial yang datang dari luar oase kekayaan spiritual agama-agama itu sendiri.

Basis teologis bagi perdamian antar-umat beragama adalah: prinsip kebebasan beragama, dan prinsip menerapkan keimanannya, jadi secara hakiki agama datang demi mewujudkan perdamaian. Agama harus menjadi faktor pemersatu dan perdamaianketimbang faktor peretak dan permusuhan.   (Robert B. Baowolo, 2010).

Ditulis oleh FX. Budi Prasetyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar