Perkawinan dalam Perspektif Katolik



Perkawinan adalah gejala yang umum dalam sejarah masyarakat dan budaya manusia. Sebagai gejala umum, perkawinan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat manusia. Jadi perkawinan merupakan gejala sosiologis.


Sebagai gejala sosiologis perkawinan dipahami sebagai persekutuan hidup antara perempuan dan laki-laki atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keluarga yang tidak dapat ditarik kembali. Dengan kata lain ikatan cinta itu diatur oleh masyarakat dan mengikuti etika artinya seperangkat tata nilai yang berlaku, dan dianut dalam masyarakat tertentu.

Dalam perjanjian lama perkawinan dilihat sebagai persatuan antara suami dan isteri.  Persatuan itu dilukiskan sebagai sesuatu yang indah “ keduanya menjadi satu daging.” Perjanjian Baru juga melihat perkawinan sebagai sesuatu yang penting. Misalnya, Yoh 2 mengisahkan bahwa Yesus menghadiri pesta pernikahan. Ketika kehabisan anggur, Yesus mengubah air menjadi anggur. Perkawinan itu juga dilihat sebagai  karya Allah yang mempersatukan suami dan isteri (Mat 19: 5).

Selain itu perkawinan dilihat Perjanjian Baru sebagai perwujudan cintakasih Kristus kepada Gereja-Nya dan lebih dari itu perkawinan merupakan yang tak terputus dan tak tercabut kepada Gereja. Konsili Vatikan II dalam LG art 11 mengajarkan bahwa dengan menerima sakramen perkawinan orang beriman ( suami isteri ) menunjukkan sekaligus mewujudkan cintakasih antara Gereja dan Kristus agar terjaminlah kelestarian umat Allah dari abad ke abad.

Hidup bahagia bersama-sama adalah cita-cita bagi setiap keluarga. Tanpa kebahagiaan, hidup rumah tangga akan terasa hambar, gelap, dan tak bercahaya. Untuk mencapai kebahagiaan sejati, perlu landasan yang kokoh dan perlu memahami hakekat dan tujuan pernikahan suci.

Landasan perkawinan

Landasan yang harus dimiliki oleh setiap calon mempelai adalah Cinta Kasih yang sungguh dewasa, matang seperti Kristus mencintai kita. Kalau demikian apa itu artinya cinta? Cinta itu tak terbatas, tidak mudah untuk didefinisikan, namun begitu mudah dirasakan. Kasih sejati mengandung nilai kepercayaan, penyerahan diri total untuk yang dicintai, demi kebahagiaan bersama.

St Paulus menulis dalam suratnya, “Cinta itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, dsb. Agar cinta kasih kedua insan semakin matang, perlu sebuah persiapan yang serius. Sehingga pernikahan itu didasari oleh keikhlasan hati dan keputusan yang penuh kesadaran, bukan dengan keterpaksaan. Pernikahan yang dilaksanakan atas dasar keterpaksaan, dari dirinya sendiri sudah tidak sah.

Ada pepatah mengatakan demikian “Buka mata lebar-lebar sebelum menikah dan tutup separuh sesudahnya.” Artinya, sebelum mengambil keputusan untuk menikah, calon pengantin harus berpikir serius, melihat dengan cermat, mengenal dengan mendalam calon pendampingnya, agar keputusan yang diambil sungguh dilandasi oleh pertimbangan yang matang dan tidak  pernah akan disesali.

Sesudah dengan pertimbangan matang, dan pernikahaan terjadi, maka mata harus ditutup separuh, artinya kelemahan-kelemahan pribadi yang kemungkinan besar akan tampak dalam hidup bersama, jangan dipermasalahkan lagi, ibarat kita menutup mata untuk hal yang negatif dan membuka mata untuk hal yang positif.

Sayangnya banyak pasangan yang justru melakukan sebaliknya. Itulah cinta buta, cinta yang mentah yang hanya didasarkan pada emosi, nafsu sesaat dan tanpa pertimbangan serta pemahaman yang masak mengenai hidup rumah tangga.

Tujuan perkawinan

Menikah merupakan menyatukan dua hati, dua pribadi yang berbeda dalam kebersamaan hidup. Kebersamaan hidup bukan sekedar hidup bersama. Orang bisa hidup bersama dalam satu atap, tetapi tidak ada kebersamaan hidup, seperti orang yang tinggal di hotel.

Kebersamaan hidup mengandaikan adanya sebuah pengorbanan, penghargaan terhadap pribadi yang lain, saling percaya, saling membantu, saling mencintai, saling melengkapi, dan saling mau membahagiakan satu sama lain. Saling pengertian, saling mengampuni, saling mengingatkan dengan penuh kesabaran. Dan ada juga kesejahteraan lahir batin bagi suami isteri.

Hakekat pernikahan

Hakekat pernikahan: satu dan tak terceraikan. Kasih sejati memilikim arti yang sangat mendalam, menyangkut kesetiaan. Di jaman sekarang ini, kesetiaan sangat mahal harganya. Banyak orang mengatakan bahwa dua dari tiga pria sekarang ini tidak setia pada isterinya. Dari kodratnya manusia tidak ada yang mau cintanya terbagi dengan orang lain.

Semua itu didasarkan pada ajaran dan keteladanan Kristus. Seperti Kristus setia kepada Bapa sampai wafat di kayu salib, begitu pula pasangan suami isteri harus setia selamanya. Hakekat pernikahan itu didasarkan pada penghayatan bahwa pernikahan itu bukan sekedar persatuan antara pria dan wanita secara manusiawi, tetapi punya sifat yang lebih hakiki yakni ilahi.

Kasih suami isteri mengambil bagian dari kasih Kristus yang ilahi. Maka , setiap orang yang menikah dalam Kristus dan mencintai Kristus tentu akan menjunjung tinggi nilai kesucian pernikahan dengan tidak menodai kesucian itu, tetapi semakin memperdalam kesucian dengan kesetiaan yang sempurna.

St Paulus dalam suratnya kepada umat di Efesus mengatakan, “Seperti Kristus mencintai gereja dengan berkorban sampai mati, demikian pula kasih suami isteri harus mengasihi isterinya dan isteri mencintai suami sampai mati”.

Ditulis oleh FX. Budi Prasetyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar