Membangun Budaya Damai di tengah Ancaman Terorisme dan Kekerasan



Terorisme merupakan suatu bentuk pemenuhan kebutuhan agresivitas melalui tindakan kekerasan terhadap orang lain yang dianggap sebagai musuh maupun pesaing. Agresivitas tersebut terkadang bersifat tidak langsung yaitu tindakan menghancurkan musuh melalui melukai orang lain yang terkait dengan kekuasaan musuh tersebut. Misalnya, pembalasan Amerika Serikat terhadap Saddam Hussein, dilakukan dengan cara melakukan penyerangan dengan senjata terhadap seluruh rakyat Irak.

Aksi terorisme ini disinyalir disebabkan oleh berbagai macam faktor, yang salah satunya adalah manifestasi dari ketidakadilan sosial dan rendahnya kualitas pembangunan pendidikan karakter manusia sebagai peserta didik. Sejarah terjadinya terorisme sudah ada sejak zaman kerajaan dahulu di seluruh belahan dunia di mana merupakan bentuk upaya perebutan kekuasaan, yaitu dalam bentuk pembunuhan maupun ancaman. Pada abad ke-19 yaitu bermula dari peristiwa Perang Dunia I dan II, terorisme digunakan sebagai alat untuk melakukan revolusi politik dan sosial secara instan. 

Pada awal tahun 1970-an, terorisme menjadi sebuah ajang sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya. Merespon aksi terorisme yang sudah “mendunia’, dibuatlah suatu peraturan mengenai Culture Peace oleh PBB pada tahun 1997, yang dituangkan dalam bentuk Resolusi PBB No. 53/25. Culture Peace ini bertujuan untuk mengatur dan menjaga hubungan antar negara dalam koridor kondisi damai. Institusi yang menjadi target dari penerapan Culture Peace ini adalah lembaga pendidikan dan kemasyarakatan. 

Pada lembaga pendidikan, akan ditinjau isi dari materi pelajaran yang disampaikan kepada anak, yaitu apakah sudah mencakup pembentukan budi pekerti. Infrastuktur dan kualitas sumber daya manusia selaku tenaga pendidik, juga akan dibenahi. Sedangkan pada lembaga kemasyarakatan, akan dilakukan kerjasama dengan tokoh agama dan masyarakat untuk menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian. Ditinjau dari beberapa pendekatan ilmiah mengenai aksi terorisme yaitu filosofis, Heidegger (1969) di dalam teori Discourse on Thinking menyatakan bahwa terdapat ambiguitas dalam pemikiran manusia. 

Di satu sisi, manusia ingin sekali mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi, sains, dan budaya. Tetapi sebaliknya, timbul keinginan untuk menghancurkan pihak lain jika ideologi tentang kemajuannya tersebut tidak dapat tercapai. Fromm dengan teori trance-nya menyatakan bahwa agresi muncul karena pemikiran sesaat manusia akan kesenangan jika berhasil menghancurkan pihak lain yang dianggap sebagai rival. 

Sedangkan menurut tinjauan kenegaraan, lemahnya kontrol terhadap aksi terorisme karena faktor banyak pihak yaitu kurangnya kesadaran dari masyarakat akan bahaya global yang ditimbulkan dan kualitas aparat sebagai SDM yang masih di bawah standar untuk melakukan kontrol terhadap keamanan lingkungan.

Ditulis oleh FX. Budi Prasetyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar