Dampak Dialog Agama Sebagai Proses Intrinsik Dalam Upaya Mengatasi Konflik Sosial Agama

Oleh: F.X. Budi Prasetyo


ABSTRAK

Setiap masyarakat yang telah mampu mempertahankan dirinya dalam jangka waktu lama di tengah-tengah peperangan-peperangan dan kemelut-kemelut yang terjadi bersamaan dengan kehidupan berkelompok mereka, telah mampu mengembangkan interpretasi moral terhadap pandangan hidupnya sendiri, sebagai penjelasan tentang persoalan makna kemasyarakatannya. Maka agama dimaksudkan  untuk dilibatkan di dalamnya agar  berperan dalam mengembangkan moralitas masyarakat. Secara khusus penulisan ini bertujuan 1) masyarakat harus sadar bahwa pluralitas agama dan aliran kepercayaan merupakan fakta dan keniscayaan Indonesia sebagai negara-bangsa, 2) ruang lingkup interaksi beragama dan penganutnya harus dibangun secara masif dan berkelanjutan, 3) masyarakat harus memiliki imajinasi pluralitas, 4) masyarakat dapat hidup dengan baik kalau mereka menemukan makna hidupnya, 5) suatu dialog antar agama yang korelasional mengakui adanya pluralitas agama itu dalam dirinya baik, karena memang ini fakta dalam kehidupan dan alat untuk membangun hubungan dialog agama. Dialog dan toleransi yang berhakikat kerendahatian manusia itu ternyata bisa berdampak positif, baik bagi manusia dengan pluralitas agamanya bagi agama itu sendiri.


PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhuk sosial dan makhluk yang bebas. Makhluk yang bebas itu bisa merencanakan masa depan hidupnya. Hal ini tampak mencolok dalam harapan dan cita-cita yang ada dalam diri setiap manusia. Dalam harapan dan cita-cita inilah, hari esok dianggap lebih berarti, sedangkan kemarin dan hari ini memperoleh kebermaknaan sebagai suatu proses pengupayaannya. Rupanya, dewasa ini berbeda dengan manusia yang lebih menekankan masa depan, kebanyakan orang memiliki perspektif waktu yang lebih pendek.

Kebanyakan agama memiliki perspektif waktu yang panjang. Panjangnya perspektif waktu tersebut melampaui waktu manusiawi yang dibatasi oleh kematian. Perspektif waktu yang itu mendasari beberapa sifat agama. Sifat yang pertama adalah optimis terhadap hidup ini. Perspektif waktu yang panjang itu pun membuat manusia tidak tergesa-gesa, membuat sadar. Sifat yang kedua, masih berkaitan dengan keyakinan pada proses, adalah keterbukaan. Karena agama tidak sewenag-wenang mengadili yang sedang terjadi, ia perlu percaya adanya alternatif. Hal yang kiranya layak diperhatikan adalah mengembangkan sifat aktif agama. Sifat aktif ini dilawankan dengan sifat reaktif. Dengan sifat aktif dimaksudkan suatu sifat yang memberi pengarahan dan petunjuk. Kalau perlu agama berani melompat mendahului langkah manunsia sebagai anak zaman supaya tidak ketinggalan langkah. Agama perlu menunjukkan kemandiriannya, dengan kemandiriannya tersebut agama lebih berperan sebagai fungsi kritis terhadap struktur masyarakat. Agamalah yang bisa berperan memberi pendasaran refeleksi, yaitu refeleksi yang sungguh dalam dan luas sehingga bisa memberi perluasan visi kemanusiaan seseorang.

Sosiologi agama tidak hendak melihat bagaimana seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan eksistensi sebuah peradaban masyarakat. Agama juga bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektivisme dalam satu komunitas masyarakat. Kekuatan kolektivisme dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan diantara pemeluknya. Dalam hal ini agama bisa dianggap mampu berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif.

TINJAUAN TEORITIS

Karl Marx memiliki pendapat yang agak sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orentasi pasca-kematian. Hal ini menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun kesadaran palsu untuk mengalihkan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imanjinasi atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas.

Kritik Marx atas agama ini adalah refeleksi dalam konteks zamannya dimana kekuatan agamawan pada waktu itu nyatanya tidak mampu menjadi penggerak atas struktur kapitalisme yang menindas kelas bawah. Marx menyatakan agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas. Ia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarkat tertindas. Agama tidak mampu menjadi alat perubahan dan perlawanan masyarakat yang tertindas.

Teori Kohlberg

Menurut Lawrence Kohlberg, seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard, mengemukakan bahwa perkembangan moralitas yang diukur Kohlberg adalah moralitas pribadi. Pengukuran ini bisa diterapkan pada masyarakat keseluruhan, karena masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi juga. Warga mayoritaslah yang akan kita lihat, dan mayoritas di sini adalah mayoritas orang dewasa. Moralitas berkembang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat pra-adat, adat, dan pasca-adat. Perkembangan ini berkaitan erat dengan kemampuan berpikir atau kognitif seseorang. Ciri moralitas pra-adat adalah orang menyesuaikan diri dengan aturan-aturan tentang baik dan jahat yang dilengkapi dengan akibat fisik yang berupa hukuman atau ganjaran. Pada tingkat adat, orang mulai memperhitungkan aspek kelompok atau masyarakat. Motivasi perbuatan ditentukan oleh pandangan baik atau buruk oleh masyarakat. Ia menjalani aturan bukan lagi hanya keselamatan sendiri, melainkan sudah dilengkapi pandangan bahwa hal itu  baik juga demi kepentingan kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Dan ia berani berkorban karenanya. Pada tingkat pasca-adat sudah melepaskan diri dari keterikatan primodial dengan kelompok atau masyarakatnya. Kemandirian yang berpegang pada kekuatan suara hati pribadi. Baik buruknya motivasi tindakan diukur dari moral universal yang dipilih sendiri.

Teori William Placher

William Placher dengan tegas mengatakan: “Banyak teolog dan filsuf agama kotemporer sangat tidak enak dengan adanya pluralisme agama. Mereka tidak bisa menerima kemungkinan bahwa agama bisa saja berbeda, malah bertentangan dan tidak ada sudut yang dapat dipergunakan untuk menilai agama kecuali dalam sudut tradisi tertentu. Lebih lanjut William menyebutkan pernyataan positif bahwa ”banyak agama itu benar karena ada satu Allah di dalamnya”,  bisa merupakan pemaksaan pandangan seseorang terhadap yang lain secara terselubung, karena pernyataan semacam itu mengandung implikasi bahwa seseorang memiliki konsep agama atau Allah yang normatif yang dengannya seseorang dapat mengetahui bahwa agama lain itu benar dan harus diakui atau bahwa agama itu palsu dan harus ditolak. Di dalam pendekatan pluralis baru terhadap agama-agama lain: pemahaman seseorang tentang Allah atau realitas itu sendiri, menjadi dasar bagi kesatuan semua agama. Model pluralis untuk dialog dapat ditransformasikan, biasanya tanpa berubah, menjadi para imperialis atau manipulator bukan hanya cara mereka berbicara tentang “ Allah yang satu itu” di dalam semua tetapi juga cara mereka berbicara tentang satu dialog yang harus menampung agama. Gagasan umum tentang dialog dalam model pluralis kedengarannya mulia dan besifat egaliter: suatu dialog dimana tidak seorang pun disisihkan dan yang di dalamnya semua orang belajar dan berkembang. Pendekatan pluralis terhadap agama tidak melihat betapa beragam agama-agama dunia ini dan juga karena mereka tidak sadar betapa terbatasnya rencana universal mereka sendiri, mereka akhirnya menjadi pluralis setengah matang yang menjadi imperialis anomim.

PEMBAHASAN UTAMA

KASUS CIKEUSIK TIDAK BERDIRI SENDIRI

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengutuk penyerangan dan pembunuhan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandegelang, Banten. Ketua Komnas Perempuan Yuniyati Chuzaifah berpendapat, tragedi itu tidak berdiri sendiri. “ Kejadian itu merupakan bagian dari rangkaian panjang. Tercatat setidaknya ada 342 kali serangan terhadap komunitas Ahmadiyah dalam rentang tahun 2007-2010,” ujar Yuniawati di kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhari, Jakarta.

Ratusan kekerasan tersebut selalu atas nama agama terhadap kelompok minoritas. Dalam catatan Komnas, kaum perempuan dan anak sering mendapat ancaman dan intimidasi dari kelompok yang melakukan kekerasan itu. Kekerasan yang berantai itu harus dihentikan,” tegasnya.

Jemaat Ahmadiyah tidak akan ikut dialog


Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengatakan tidak akan menghadiri dialog dan dengar pendapat tentang keberadaan Ahmadiyah yang digelar oleh Kementerian Agama, karena tidak menghadirkan pihak-pihak yang netral. Kementerian Agama akan melakukan dialog dengan mengundang beberapa pihak, dari ormas Islam, LSM, serta lembaga terkait. Penyelenggara juga juga mengundang sejumlah tokoh seperti praktisi hukum Adnan Buyung Nasutio, sejumlah organisasi non-pemerintah seperti Wahid Institute. Pengamat masalah Islam dari Wahid Institute Ahmad Sueady mengatakan sebaiknya sebelum melakukan dialog, pemerintah harus bersikap netral dalam menyikapi masalah Ahmadiyah.

Moralitas Masyarakat Kita

Mayoritas anggota yang sudah dewasa masih pada tingkat adat. Itu berarti bahwa orentasi tindakan mereka ada pada pandangan umum. Dalam arti tertentu mereka masih mengacu pada hukum umum, baik hukum formal maupun hukum tak tertulis. Dapat dikatakan bahwa moralitas mayoritas anggota masyarakat belum sungguh dewasa. Mereka masih suka bertanya “Ini boleh atau tidak”? daripada mempertimbangkan masalahnya sendiri, dengan hati nurani dan budinya. Masih ada rasa takut untuk berbuat agak lain meski mungkin baik. Jadi, motivasi tidak melakukannya pada masa sebelum ini lebih disebabkan oleh rasa takut pada masyarakat daripada oleh pertimbangan bahwa hal itu bernilai negatif. Kita juga bisa melihat hal- hal ini pada diri beberapa pejabat. Meskipun mereka dipandang cukup berpendidikan, masih saja ada yang kurang bisa menerima gagasan-gagasan yang lebih bernilai universal.

Dampak

Dampak dari moralitas tadi tampak dalam mentalitas yang muncul. Yang pertama adalah kurangnya inisiatif dari masyarakat. Yang kedua adalah kecenderungan masyarakat untuk bersifat egois, invidualistis, lebih suka memikirkan kepentingan sendiri. Kalau ia hanya memikirkan dirinya sendiri, biasanya rasa tanggung jawab ini pun nol. Masyarakat tidak akan menjadi masyarakat sesungguhnya tanpa tanggung jawab individu anggotanya.

Peran Agama

Tugas agama dalam moralitas adalah mengarahkan umat ke tahap yang lebih tinggi. Dari sini diharapkan masyarakat bisa lebih maju dan dinamis. Pengelolahan hidup sehari-hari dari segenap` umat sangat perlu. Pemimpin agama mendampingnya. Ia berperan sebagai pengarah untuk dapat sungguh mendalami makna pengalaman itu dengan cahaya agama. Cara yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal itu adalah mengolah hidup, diajak berpikir, dan mempertanggungjawabkan hidupnya dan belajar sungguh bertanggungjawab.

Korelasional   

Suatu dialog antar-agama yang korelasional mengakui adanya pluralitas agama, model korelasional mengupayakan adanya hubungan dialogis yang autentik dan benar-benar bersifat dua arah di antara para penganut agama di dunia, analog dengan hubungan yang dibangun di antara teman dan rekan kerja. Hubungan semacam ini memungkinkan semua peserta berbicara jujur dan saling mendengarkan, mengajar, belajar, menyaksikan, dan diberi kesaksian.  Agar dialog korelasional dapat berlangsung, perjumpaan dialogis harus dilakukan dalam suatu komunitas yang egaliter, bukan hierarkis. Dialog korelasional adalah mengikutsertakan mereka yang menderita dan bumi yang menderita ke dalam dialog tersebut dan dilaog itu dapat diterima oleh agama-agama lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa cara yang paling efektif melaksanakan. Dialog yang bertanggung jawab secara global artinya berusaha menggambarkan kesempatan yang melekat dalam kebutuhan dari suatu pengalaman. Tanggung jawab global dapat memberikan baik suatu kunci teologis untuk mendengar dan memahami dalam keterbukaan yang lebih dialogis terhadap agama-agama lain, maupun kunci hermeneutis untuk mendengar dan memahami keberlainan dan perbedaan-perbedaan yang ada dalam berbagai jalan rohani lainnya. Suatu dialog pluralistik antar-agama bisa menjadi lebih efektif secara hermeneutis dalam menjembatani jurang komunikasi antar budaya dan konflik sosial. Dengan kata lain, dialog harus menghubungkan tradisi kita dengan pengalaman kita  dan dunia ini. Pengakuan bahwa dialog antar-agama kalau mau layak dan efektif, harus inklusif harus membawa kita mengakui sesuatu yang sama penting namun tidak terpecahkan, yaitu pengakuan bahwa dialog antar-agama itu telah menjadi ekslusif. Dialog antar-agama harus benar-benar terbuka, tanpa prasyarat apa pun. Dengan kata lain, dialog antar-agama bisa berbentuk apa saja sesuai keinginan peserta. Jadi umat beda agama dalam komunitas basis manusiawi saling mendengarkan, berbagai komitmen, bergumul mencapai tujuan bersama, mengusahakan kesejahteraan bersama, dan kebersamaan dalam beragama.

Toleransi dan Dialog Agama


Menjadi tampak pula bahwa agama sebagai institusi pencarian dalam wajah manusiawinya adalah relatif, sedangkan dari sudut lain dalam wajah ilahinya sebagai institusi penemuan, agama bersifat mutlak. Dalam hal ini pemutlakan wajah ilahi yang lebih sering terjadi karena wajah manusiawinya  dilupakan. Itu sebabnya toleransi  beragama tidak mendapatkan tempat karena toleransi beragama mengandaikan alternatif atau pluralitas agama. Dari dua bahaya yang telah dilihat, sumbernya tidak lain adalah keterbatasan manusia untuk mengakui keterbatasannya sendiri. Dengan toleransi beragama yang mengandaikan pluralitas agama itu mendapatkan pendasarannya, baik wajah ilahinya maupun wajah manusiawinya. Dari sudut lain, toleransi beragama berarti pengakuan akan keterbatasan suatu agama sebagai institusi pencarian karena agama dalam wajah manusiawinya ini terkait erat dengan keterbatasan manusiawi dan keterbatasan ruang dan waktu. Toleransi tersebut lalu berarti kerendahatian untuk mengakui keterbatasan diri di hadapan kemahabesaran Tuhan serta di hadapan orang atau institusi lain.

Dampak Toleransi dan Dialog Agama

Toleransi  dan dialog yang berhakikat kerendahhatian manusia itu ternyata dapat berdampak positif, baik bagi manusia dengan pluralitas agamanya maupun bagi agama itu sendiri. Bagi manusia secara umum, toleransi  dan dialog akan membawa kerukunan dan juga kerja sama demi kebaikan bersama. Dialog menjadi suatu kebutuhan dan keharusan dalam kehidupan kebersamaan dari segenap warga dunia ini disebabkan oleh perlbagai faktor yang dapat ditemukan baik dalam perkembangan dunia sendiri maupun dalam perkembangan dan perubahan-perubahan  yang terjadi di dalam pandangan agama-agama sendiri. Dialog antar umat beragama merupakan jalan yang paling sesuai untuk diambil sebagai langkah pertama menuju kerukunan, toleransi dan perdamaian. Tujuan dialog adalah sesuatu yang positif, yaitu memberi informasi dan nilai-nilai yang dimiliki, lalu membantu pihak lain mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, di dalam dialog agama tidak ada soal “ kalah atau menang, yang penting adalah tumbuhnya saling pengertian yang objektif dan kritis, menumbuhkan kembali alam kejiwaan semula tertutup oleh tirai pemisah karena tiadanya saling pengertian kepada alam dan bentuk kejiwaan  yang otentik dan segar.

KESIMPULAN

Pada dasarnya, tidak ada agama yang mengajarkan konflik, kalau dulu pernah terjadi perang salib, yang salah bukan ajaran agamanya, melainkan orang-orang yang berkompeten menafsirkannya. Manusiawi mempunyai keterbatasan wawasan, karenanya akan banyak terkait dengan dimensi sosial-material. Moralitas mayoritas anggota masyarakat belum sungguh dewasa. Kecenderungan  mayoritas anggota masyarakat untuk bersifat egois, individualistis, memikirkan kepentingan sendiri, yang penting keselamatan diri. Masyarakat tidak akan menjadi masyarakat sesungguhnya tanpa tanggung jawab individu anggotanya. Agama dengan ajarannya selayaknya juga menjadi sikap, bukan sekadar menjadi pisau analisis, dalam menghadapi pemasalahan konflik sekarang ini, yang antara lain globalisasi kemanusiaan. Dialog korelasional antar-agama tidak mengupayakan agar dialog itu menjadi dialog yang bertanggung jawab secara global,  karena berangkat dari keterbatasan wawasan, sehingga tidak mau mendengarkan, memahami dan keberlainan agama sehingga aspek emosional muncul. Semua manusia ingin disapa, tetapi kadang justru menimbulkan pengkotak-kotakan secara tajam antara yang masuk agama tertentu dan yang tidak. Dalam wajah kongkret, agama malah menjadi sumber pertikaian tajam, bahkan fanatik diantara sesama manusia.

SARAN

Manusia baru dapat hidup dengan baik kalau ia menemukan makna hidupnya, makna hidup itu ditemukan antara lain dengan berbuat sesuatu dalam cinta kepada sesama dan dunia serta dalam keberanian untuk menghadapi penderitaan. Una est religio, in rituum varietate (agama itu satu, ritusnya berbeda-beda) ada unsur benarnya, agama memang dipahami sebagai rahmat pembawa rahmat, semua menyadari bahwa yang dibawanya sama, sebenarnya tidak perlu ada isu-isu islamisasi, kristenisasi atau yang lain-lain. Dialog agama dengan ilmu pengetahuan dan seni memang diharapkan lebih membuka wawasan yang akan membuat orang lebih arif dan dewasa. Kearifan untuk melupakan saling kecurigaan yang pernah terjadi, baik antar agama, ilmu dan seni. Dalam dialog dengan religiositas tiap-tiap manusia, agama pun diharapkan dapat realistis, lebih menghormati kebebasan inividu, lebih menghormati gradasi iman masing-masing. Dalam pertemuan dengan pribadi-pribadi, agama diharapkan makin sadar akan keberadaannya sebagai institusi yang berwajah ilahi dan sekaligus berwajah manusiawi.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Rakyat Merdeka, 17 Februari 2011
2.    http://puspek-averroes.org/2009/07/26/agama-dan-transformasi-sosial/
3.    Knitter , Paul F. 2004. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia
4.    Seputar Indonesia, 22 Maret 2011
5.    O.C, Hendropusito. D, Drs. 1991. Sosiologi Agama. Jakarta: Kanisius
6.    Kresnowiati Winny. 2008. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta: Jala Permata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar