Dalam hidup sehari-hari banyak orang seringkali mengatakan CINTA, CINTA, dan CINTA, namun dia kurang memaknai arti cinta sebenarnya. Apakah cinta itu mengikat (possesif)? Apakah cinta itu buta? Atau apakah cinta itu sesungguhnya membebaskan?
Cinta kasih antara pria dan wanita bukanlah sesuatu yang tidak disadari ataupun diinginkan, sebab hal itu merupakan sesuatu yang melekat pada umat manusia, sebagaimana disebut sebagai eros dalam ungkapan Yunani kuno.
Cinta “Eros”
Dunia pra-Kristiani menggambarkan orang-orang Yunani –tidak seperti dalam budaya lain- memahami eros sebagai kemabukan, rasionalisasi secara berlebihan dalam “kegilaan ilahi” (divine madness), yang menjauhkan manusia dari keterbatasan dirinya dan memampukannya, dalam kondisi keberlimpahan daya ilahi, mengalami kebahagiaan tertinggi. Dengan demikian eros dirayakan sebagai tanda kuasa ilahi, keikutsertaan bersama yang ilahi dalam ritus kesuburan (pelacuran ‘suci’).
Tapi pada kenyataannya kemabukan dan kelepaskontrolan eros, akhirnya bukanlah sesuatu yang menuntun ‘ekstase’ (kemabukan) kepada Yang Ilahi, sebaliknya suatu kejatuhan, suatu degradasi pada pribadi manusia. Jadi eros melambangkan cinta dengan kepuasaan sesaat, penuh nafsu, posesif dan mencari keuntungan sendiri (cinta ‘duniawi’), serta berprinsip menumbuhkan gairah (cinta yang ‘naik’).
Cinta “Agape”
Cinta model ini paling banyak dalam Kitab Suci, karena kata agape mengungkapkan cinta yang memuat suatu pencarian konkret akan yang lain, bergerak mengatasi ciri egoistis yang tampak dalam pengertian eros. Cinta ini tidak lagi suatu pencarian diri, tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan, namun mencari apa yang baik pada mereka yang dicintai: itu menjadi penyerahan diri dan sedia, bahkan berkehendak, untuk berkorban (contoh film).
Jadi cinta memang sungguh suatu ‘ekstase’, bukan dalam pengertian saat mabuk, namun lebih sebagai suatu perjalanan untuk terus-menerus keluar dari pemusatan diri (ego) menuju pada pembebasan melalui pemberian diri, dan kemudian menuju pada pencarian diri secara sungguh, dan pencarian akan Allah.
Cinta sejati itu adalah hubungan "Aku-Engkau" (Martin Bubber 1878-1965). Dalam hubungan itu keduanya saling memandang, menerima, dan mengakui dirinya masing-masing sebagai pribadi. Aku adalah Engkau, dan Engkau adalah aku. Kita bersama-sama saling menghormati, menerima, dan menghargai sebagai pribadi yang unik. Sebab kita memang bukan alat untuk kepentingan masing-masing pribadi (Jika makna Cinta: Aku-itu dan Engkau-itu).
Cinta itu berusaha memberikan kebebasan pada orang lain, membiarkan dia hidup dan berkembang, serta bersedia untuk memberi dan menerima (tidak egoistis – eros). Orang yang sungguh mencintai juga bersedia menerima apa yang diberikan oleh orang yang dicintainya, dan senang serta gembira atas apa yang diberikannya kepada pasangannya itu (contoh film). Inilah makna cinta sejati. Cinta yang sungguh kristiani.
Cinta kasih antara pria dan wanita bukanlah sesuatu yang tidak disadari ataupun diinginkan, sebab hal itu merupakan sesuatu yang melekat pada umat manusia, sebagaimana disebut sebagai eros dalam ungkapan Yunani kuno.
Cinta “Eros”
Dunia pra-Kristiani menggambarkan orang-orang Yunani –tidak seperti dalam budaya lain- memahami eros sebagai kemabukan, rasionalisasi secara berlebihan dalam “kegilaan ilahi” (divine madness), yang menjauhkan manusia dari keterbatasan dirinya dan memampukannya, dalam kondisi keberlimpahan daya ilahi, mengalami kebahagiaan tertinggi. Dengan demikian eros dirayakan sebagai tanda kuasa ilahi, keikutsertaan bersama yang ilahi dalam ritus kesuburan (pelacuran ‘suci’).
Tapi pada kenyataannya kemabukan dan kelepaskontrolan eros, akhirnya bukanlah sesuatu yang menuntun ‘ekstase’ (kemabukan) kepada Yang Ilahi, sebaliknya suatu kejatuhan, suatu degradasi pada pribadi manusia. Jadi eros melambangkan cinta dengan kepuasaan sesaat, penuh nafsu, posesif dan mencari keuntungan sendiri (cinta ‘duniawi’), serta berprinsip menumbuhkan gairah (cinta yang ‘naik’).
Cinta “Agape”
Cinta model ini paling banyak dalam Kitab Suci, karena kata agape mengungkapkan cinta yang memuat suatu pencarian konkret akan yang lain, bergerak mengatasi ciri egoistis yang tampak dalam pengertian eros. Cinta ini tidak lagi suatu pencarian diri, tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan, namun mencari apa yang baik pada mereka yang dicintai: itu menjadi penyerahan diri dan sedia, bahkan berkehendak, untuk berkorban (contoh film).
Jadi cinta memang sungguh suatu ‘ekstase’, bukan dalam pengertian saat mabuk, namun lebih sebagai suatu perjalanan untuk terus-menerus keluar dari pemusatan diri (ego) menuju pada pembebasan melalui pemberian diri, dan kemudian menuju pada pencarian diri secara sungguh, dan pencarian akan Allah.
Cinta sejati itu adalah hubungan "Aku-Engkau" (Martin Bubber 1878-1965). Dalam hubungan itu keduanya saling memandang, menerima, dan mengakui dirinya masing-masing sebagai pribadi. Aku adalah Engkau, dan Engkau adalah aku. Kita bersama-sama saling menghormati, menerima, dan menghargai sebagai pribadi yang unik. Sebab kita memang bukan alat untuk kepentingan masing-masing pribadi (Jika makna Cinta: Aku-itu dan Engkau-itu).
Cinta itu berusaha memberikan kebebasan pada orang lain, membiarkan dia hidup dan berkembang, serta bersedia untuk memberi dan menerima (tidak egoistis – eros). Orang yang sungguh mencintai juga bersedia menerima apa yang diberikan oleh orang yang dicintainya, dan senang serta gembira atas apa yang diberikannya kepada pasangannya itu (contoh film). Inilah makna cinta sejati. Cinta yang sungguh kristiani.
Ditulis oleh FX. Budi Prasetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar