Menempatkan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan pada dasarnya menentukan pijakan hidup seorang manusia pada sebuah keyakinan akan kebutuhan fitrawi manusia itu sendiri atas kepercayaan yang dianutnya. Unsur ajaran dan tata nilai menjadi sebuah bangunan postulat yang termaktub dalam esensi ajaran dari sebuah agama.
Pendidikan agama sebagai salah satu sub pendidikan Nasional yang diajarkan dari TK bahkan sampai perguruan tinggi tidak luput dari telaah teoritik baik dari aspek normatif maupun historisnya. Pendidikan agama sarat muatan normatif dan historis empiris.
Maka, amat menarik untuk mengkaji ulang, mencermati, meneliti, paradigma, konsep dan pemikiran pendidikan agama yang ditawarkan oleh kurikulum, silabus, literartur dan para pengajarnya di lapangan dalam era pluralitas.
Dalam era pluralitas Pendidikan Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spiritual.
Secara historis, praktik pendidikan agama, sejak dari awal penyusunan kurikulum, silabus guru maupun dosen, metode pengajaran, pilihan buku wajib dan literatur yang digunakan, sumber dana penyelenggaraan sekolah, model penataran guru agama, akses guru agama dalam memahami isu pluralitas atau kemajemukan penganut agama di tanah air, dan begitu seterusnya perlu dicermati satu persatu pengalaman yang terjadi.
Dikatakan berdasarkan berbagai pengalaman bahwa apa yang diketahui (pengetahuan, ilmu) tidak mutlak membuat hidup seseorang sukses dan bermutu. Tetapi diikuti dengan kemampuan, ketekunan dan kecekatan seseorang untuk memahami interpretasi dan mengaplikasikan apa yang diketahui dalam hidup nyata melalui refeleksi dan perilaku sehari-hari, akan membuat hidup seseorang sukses dan bermutu.
Demikian pula dalam kehidupan beragama. Orang tidak akan beriman dan diselamatkan oleh apa yang ia ketahui tentang imannya, tetapi terlebih oleh pergumulannya bagaimana ia menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam hidup nyata sehari-hari.
Seorang beriman yang sejati adalah seorang yang senantiasa berusaha untuk melihat, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam hidup nyatanya, dan berusaha untuk melaksanakan kehendak Allah bagi dirinya dalam konteks hidup nyatanya.
Oleh karena itu, Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu usaha untuk memampukan peserta didik menjalani proses pemahaman, pergumulan dan penghayatan iman dalam konteks hidup nyatanya melalui pergumulan kesehariannya.
Dengan demikian proses ini mengandung unsur pemahaman iman, pergumulan iman, penghayatan iman dan hidup nyata sejalan dengan iman yang dihidupinya. Proses semacam ini diharapkan semakin memperteguh dan mendewasakan iman peserta didik dan pendidik itu sendiri.
Kita pasti menyetujui bahwa setiap orangtua mengharapkan anak-anaknya kelak berhasil dalam hidup, menjadi manusia yang baik dan berguna bagi keluarga, masyarkat, dan bagi Tuhan. Kita yakin bahwa seorang guru mengharapkan buah atau hasil dari para muridnya dalam menuntut ilmu demi masa depan mereka yang lebih baik.
Mengajar adalah belajar. Belajar berarti berbuat, belajar berarti mengalami, belajar memerlukan motivasi. Belajar berarti berbuat adalah suatu rangkaian kegiatan, karena dengan berbuat, anak menghayati sesuatu dengan seluruh indera dan jiwanya.
Belajar berarti mengalami, dengan mengalami berulang-ulang, perbuatan makin menjadi efektif, teknik makin menjadi lancar, konsep makin lama makin terang, dan generalisasi makin mudah disimpulkan, memberikan banyak kesempatan kepada murid untuk mengalami, di samping mendengarkan. Belajar adalah pertumbuhan dan pertumbuhan memerlukan waktu dan pengalaman. Belajar memerlukan motivasi untuk melakukan suatu kegiatan.
Pendidikan agama sebagai salah satu sub pendidikan Nasional yang diajarkan dari TK bahkan sampai perguruan tinggi tidak luput dari telaah teoritik baik dari aspek normatif maupun historisnya. Pendidikan agama sarat muatan normatif dan historis empiris.
Maka, amat menarik untuk mengkaji ulang, mencermati, meneliti, paradigma, konsep dan pemikiran pendidikan agama yang ditawarkan oleh kurikulum, silabus, literartur dan para pengajarnya di lapangan dalam era pluralitas.
Dalam era pluralitas Pendidikan Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spiritual.
Secara historis, praktik pendidikan agama, sejak dari awal penyusunan kurikulum, silabus guru maupun dosen, metode pengajaran, pilihan buku wajib dan literatur yang digunakan, sumber dana penyelenggaraan sekolah, model penataran guru agama, akses guru agama dalam memahami isu pluralitas atau kemajemukan penganut agama di tanah air, dan begitu seterusnya perlu dicermati satu persatu pengalaman yang terjadi.
Dikatakan berdasarkan berbagai pengalaman bahwa apa yang diketahui (pengetahuan, ilmu) tidak mutlak membuat hidup seseorang sukses dan bermutu. Tetapi diikuti dengan kemampuan, ketekunan dan kecekatan seseorang untuk memahami interpretasi dan mengaplikasikan apa yang diketahui dalam hidup nyata melalui refeleksi dan perilaku sehari-hari, akan membuat hidup seseorang sukses dan bermutu.
Demikian pula dalam kehidupan beragama. Orang tidak akan beriman dan diselamatkan oleh apa yang ia ketahui tentang imannya, tetapi terlebih oleh pergumulannya bagaimana ia menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam hidup nyata sehari-hari.
Seorang beriman yang sejati adalah seorang yang senantiasa berusaha untuk melihat, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam hidup nyatanya, dan berusaha untuk melaksanakan kehendak Allah bagi dirinya dalam konteks hidup nyatanya.
Oleh karena itu, Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu usaha untuk memampukan peserta didik menjalani proses pemahaman, pergumulan dan penghayatan iman dalam konteks hidup nyatanya melalui pergumulan kesehariannya.
Dengan demikian proses ini mengandung unsur pemahaman iman, pergumulan iman, penghayatan iman dan hidup nyata sejalan dengan iman yang dihidupinya. Proses semacam ini diharapkan semakin memperteguh dan mendewasakan iman peserta didik dan pendidik itu sendiri.
Kita pasti menyetujui bahwa setiap orangtua mengharapkan anak-anaknya kelak berhasil dalam hidup, menjadi manusia yang baik dan berguna bagi keluarga, masyarkat, dan bagi Tuhan. Kita yakin bahwa seorang guru mengharapkan buah atau hasil dari para muridnya dalam menuntut ilmu demi masa depan mereka yang lebih baik.
Mengajar adalah belajar. Belajar berarti berbuat, belajar berarti mengalami, belajar memerlukan motivasi. Belajar berarti berbuat adalah suatu rangkaian kegiatan, karena dengan berbuat, anak menghayati sesuatu dengan seluruh indera dan jiwanya.
Belajar berarti mengalami, dengan mengalami berulang-ulang, perbuatan makin menjadi efektif, teknik makin menjadi lancar, konsep makin lama makin terang, dan generalisasi makin mudah disimpulkan, memberikan banyak kesempatan kepada murid untuk mengalami, di samping mendengarkan. Belajar adalah pertumbuhan dan pertumbuhan memerlukan waktu dan pengalaman. Belajar memerlukan motivasi untuk melakukan suatu kegiatan.
Ditulis oleh FX. Budi Prasetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar